oleh Arief R. Hakim
Dari Invisible Hands ke Odious Hands
Tumor krisis finansial di AS kini sudah menunjukkan keganasannya dan telah menular—dalam berbagai derajat — ke beberapa negara di Eropa dan Asia. Tak dipungkiri bahwa badai krisis kini sedang dalam perjalanan menuju Indonesia. Otoritas moneter di berbagai negara kini sedang sibuk memperkuat pertahanan moneternya dari efek tular (contagion effect) krisis finansial tersebut. Namun tak bisa dipungkiri bahwa otoritas moneter di AS adalah yang paling sibuk dan kalut. Setelah senat AS menyetujui upaya pemerintah untuk menggelontorkan dana dalam bentuk program penjaminan (bailout) sebesar USD 700 milyar, kini adagium laissez faire dan mitos the invisible hand telah berubah menjadi the odious hand karena praktik kotor para pelaku sektor finansial yang begitu rakus menumpuk akumulasi profit hingga turut memberi andil terhadap ambruknya pasar finansial di AS.
Krisis finansial di AS telah merontokkan beberapa perusahaan dan bank besar. Efek negatifnya pun juga melintasi benua Eropa dan Asia. Beberapa perusahaan besar tersebut dianggap too big to fail (terlalu besar untuk bangkrut), artinya ketika perusahaan-perusahaan besar tersebut bangkrut dan tidak segera diselamatkan, maka pengaruhnya akan semakin buruk bagi perekonomian. Sehingga pemerintahan Bush merasa perlu untuk mengambil alih Fanny dan Freddy, kemudian “kawin paksa” antara Merril Lynch dengan Bank of America, juga bantuan sebesar USD 85 miliar dari The Fed terhadap AIG (American International Group). Kebijakan bailout oleh Bush pun sempat memunculkan kecemasan yang aneh dan naif di kalangan ekonom neoliberal bahwa perekonomian AS sedang bergerak menuju sosialisme. Tidak, AS sama sekali tidak sedang menuju kepada sosialisme, namun seperti kata Lenin, AS sedang berada pada fase kapitalisme yang sedang membusuk (decay of capitalism).
Memang jika kita bandingkan dengan indikator makroekonomi Indonesia, dana sejumlah USD 700 milyar bukanlah angka yang kecil. Dalam catatan sejarah, jumlah dana bailout tersebut adalah yang terbesar sejak The Great Depression 1929. Nilai nominal tersebut adalah setara dengan 11 kali cadangan devisa kita, atau setara dengan 1,5 kali PDB Indonesia menurut APBN-P 2008. Besarnya nominal dana penjaminan yang digelontorkan tersebut telah memberikan gambaran betapa pemerintah AS sadar betul mengenai magnitude dari krisis yang sedang dan akan mereka hadapi. Problem lain yang muncul kemudian adalah maraknya protes dari masyarakat miskin AS atas besarnya dana bailout yang dikucurkan pemerintah Bush terhadap perusahaan-perusahaan besar. Dana bailout tersebut adalah dana yang dihimpun dari pajak masyarakat, namun penerima yang diprioritaskan adalah orang-orang semacam Martin Sullivan. Kekayaan masyarakat di bawah sistem kapitalisme tidak pernah mengikuti alur trickle down effect, melainkan trickle up effect. Dan parahnya, kekayaan tersebut dikelola dan dimiliki oleh tangan-tangan kotor (odious hands).
Overproduksi dan Kerapuhan Finansial
Sebagian kalangan ekonom berpendapat bahwa krisis finansial yang terjadi di AS adalah karena adanya praktek moral hazard di kalangan pelaku sektor finansial, termasuk di dalamnya aksi spekulasi. Pandangan seperti itu hanya akan menghasilkan rekomendasi revisionistik yang sifatnya hanya “memperbaiki pipa-pipa, bukan meruntuhkan gedung lama dan membangun gedung yang baru”. Memberantas spekulasi adalah pekerjaan mustahil dalam alam kapitalisme karena kita tahu bahwa naluri moral hazard dipupuk-subur oleh para pemeluk teguh neoliberalisme, seperti yang diajarkan oleh salah satu ekonom penganjur neoliberalisme, Theodore Levitt (1958) yang mengatakan bahwa “…bisnis harus berkompetisi seperti dalam perang. Seperti halnya perang yang efektif, bisnis harus dijalankan dengan berani, dan yang terpenting bukan secara moral (not morally)”.
Krisis finansial di AS adalah gambaran dari adanya overproduksi dalam skala besar terutama di sektor finansial, namun pada saat yang bersamaan di sektor riil terjadi pelambatan produksi sekaligus penurunan daya beli masyarakat AS. Memang semenjak terjadinya tragedi 11 september, perekonomian AS selalu ditandai dengan defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran (twin deficit) yang turut disebabkan oleh agenda perang imperialisme yang memaksa pemerintah AS untuk memobilisir segenap sumber daya ekonomi untuk membiayai perang.
Overproduksi tersebut bukan hanya pada barang dan jasa, melainkan juga pada kapital. Dalam situasi kapitalisme yang telah membusuk seperti perekonomian AS, surplus kapital tidak lagi diputar di sektor pertanian ataupun industri karena kedua sektor tersebut hanya menghasilkan tingkat profit yang rendah. Dengan kata lain, surplus kapital yang terakumulasi tersebut tidak terserap oleh sektor riil, namun berputar kembali di sektor finansial. Pembentukan surplus kapital tersebut—seperti yang terjadi pada kredit perumahan kualitas rendah—cenderung berdasar kepada harga yang menjauhi nilai riil dari komoditasnya. Ketika nilai komoditas tersebut kembali kepada harga riil, maka pecahlah gelembung.
Sampai saat ini belum ada bukti empiris bahwa investasi porotofolio mampu menjadi generator pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Bahkan sebaliknya, meningkatnya investasi portofolio yang tak diregulasi malah semakin meningkatkan resiko bagi terjadinya kerapuhan finansial (financial fragility). Di banyak negara berkembang, gelombang spekulasi di pasar saham memberi kontribusi signifikan terhadap terjadinya krisis finansial seperti yang terjadi pada Tequilla crises di Meksiko pada tahun 1995, juga Malaysia dan Thailand pada tahun 1997 (Chang dan Grabel, 2004). Temuan ini memperkuat penelitian yang dilakukan oleh Stiglitz (2002) yang mengungkapkan bahwa bebasnya lalu-lintas modal internasional adalah penyebab dari hampir semua krisis nilai tukar dalam satu dekade terakhir di beberapa negara emerging market, seperti di Meksiko 1994, Asia tenggara 1997, Rusia 1998, Turki 2001, dan Argentina 2002. Stiglitz mencontohkan India dan China yang lolos dari krisis nilai tukar karena kedua negara tersebut tidak meliberalisasikan lalu-lintas modal.
Monopoli AS dan Kompetisi Global
Situasi overproduksi yang terjadi di AS tidak bisa dilepaskan dari bangunan monopoli AS yang kukunya mulai ditancapkan paska kemenangan AS dalam Perang Dunia II, tepatnya periode 1945 hingga 1980. Periode ini ditandai oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat sebagai resultan dari rekonstruksi massal di Eropa dan Asia akibat kehancuran dari PD II., dimana madzhab Keynesian menempati posisi terhormatnya. Penyelenggaraan kegiatan ekonomi pada periode tersebut lebih didominasi oleh peran institusi negara dalam melakukan perluasan (ideologi) pembangunan sekaligus menjaga fungsi pasar. Pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat di AS dan negara-negara pusat kapitalisme pada akhirnya sampai pada titik deminishing return di era pertengahan ‘70an yang ditandai dengan adanya stagflasi dan boom oil, yang kemudian membawa perpisahan dengan madzhab Keynesian pada era ‘80an. Pada gilirannya, ide-ide yang dikembangkan oleh Mont Pelerin Society lah yang kemudian berjaya dimana mereka menawarkan konsep Self-limiting State sebagai serangan terhadap konsep Big Government-nya Keynes.
Pada saat bersamaan, kompetisi di antara negeri-negeri kapitalis maju pun semakin vulgar. Suksesnya rekonstruksi Jerman dan Jepang, juga pesatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Brazil, India, Korsel menandai kompetisi global tersebut. Namun seberapapun sengitnya kompetisi tersebut, imperium monopoli AS tetap tak tertandingi. Menurut kalkulasi ekonomi, GDP AS saat ini adalah 31% dari GDP dunia. Maka wajar adanya jika perekonomian AS terkena resesi, perekonomian dunia juga terkena dampaknya. China dan India walaupun tumbuh dengan pesatnya (di atas 10%) tetap tidak bisa diharapkan meskipun dengan menggabungkan GDP kedua negara tersebut, dimana kita hanya akan memperoleh angka 7,05%. Perekonomian Jepang pun juga tidak bisa diharapkan terlalu banyak karena Jepang memiliki problem demografi yang semakin menua. Artinya, secara ekonomi, politik, maupun militer, AS tetap sebagai imperium abad 21.
Setidaknya akan timbul pertanyaan, apakah krisis finansial yang sedang terjadi di AS akan mengarah kepada berakhirnya hegemoni AS, terutama setelah dihajar oleh berbagai macam krisis. Tahun 2001 lalu AS bisa lolos dari resesi karena Alan Greenspan (Presiden The Fed pada waktu itu) menggelontorkan likuiditas. Pada waktu itu kredit murah merambah ke berbagai bentuk dan setiap orang begitu mudah memperoleh kredit. Bahkan orang yang tidak layak mendapat kredit pun bisa memperolehnya (subprime loan) yang dikemudian hari malah memunculkan bibit resesi baru. Ini adalah gambaran bahwa kapitalisme tidak pernah memiliki strategi yang jitu untuk memberantas krisis. Solusi yang ditawarkan pun hanya bersifat jangka pendek dan hanya menyelesaikan satu bibit penyebab krisis, namun pada saat bersamaan malah membiakkan bibit baru untuk krisis yang baru.