Arief Rahman Hakim
Sebelum menjelma menjadi salah satu bengkel industri abad 21 seperti saat ini, China pernah merasakan kehinaan sebagai bangsa yang terjajah. Kekuatan imperialisme telah menjajah rakyat China selama lebih dari satu abad, yang awal mulanya melalui kapal-kapal dagang yang memperjual-belikan barang-barang dan kemudian dengan merampas bagian-bagian dari bangsa China. Tercatat, China pernah dijajah oleh Inggris, AS, juga Jepang. Namun kini China tumbuh menjadi kekuatan baru dalam arsitektur ekonomi-politik global. Kemajuan yang kini diraih oleh bangsa China tidak lepas dari modal dan rekayasa sosial yang dilakukan oleh pemimpin dan rakyat China dalam beberapa dekade terakhir. China memang memiliki modal sosial yang menonjol. Mulai dari jumlah penduduk terbesar dunia hingga kesadaran rakyat untuk membangun negerinya tak mustahil bahwa China mampu berdiri sejajar dengan negara-negara maju lainnya.
Kebudayaan yang Produktif
Kemajuan suatu bangsa berkaitan erat dengan kebudayaan dari bangsa tersebut. Michael Porter menyebut bahwa suatu bangsa dapat bangkit dan mencapai kemakmuran ketika suatu bangsa memiliki “productivity culture”. Menurut pendapatnya, productivity culture tidak berasal dari dalam (misalnya dari kultur China yang telah berusia 5000 tahun), melainkan muncul sebagai akibat dari persaingan antar-bangsa. Masih menurut Porter, kultur seperti ini harus menaruh harap pada jasa baik negara untuk merangsang kemunculannya. Analisis Porter menarik, namun ia gagal dalam menemukan dari mana asal kultur yang produktif tersebut. Dengan hanya menyebut persaingan antar-bangsa, Porter seolah lupa bahwa kekuatan utama atas nasib suatu bangsa, adalah bangsa itu sendiri. Lalu dari mana kultur produktif bangsa China muncul? Tak lain adalah dari memori kolektif bangsa China yang pernah demikian terhina sebagai bangsa terjajah oleh bangsa barat pada pertengahan abad 19. Bangsa China sangat menyadari bahwa mereka adalah bangsa yang besar yang pernah berjaya di masa lampau dan mampu bersaing dengan bangsa lainnya, namun tidak dengan bangsa barat. Kekalahan bangsa China oleh bangsa barat menjadi salah satu “bahan bakar” bagi aiguozhuyi (nasionalisme) dan semangat untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain.
Kemandirian yang Mewujud
Tidak sulit untuk melacak kapan batu-bata kemandirian pertama dari bangsa China diletakkan. Dengan melihat model pembangunan awal pasca revolusi, apa yang dimaksud “model China” adakalanya lebih menjurus pada gambaran pembangunan China yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran Mao Tse-tung sejak keberhasilan revolusi 1949. Bagaimanapun kita tidak bisa mengecilkan peran revolusi tersebut dalam perkembangan China hingga saat ini, karena revolusi tersebut adalah “patahan sejarah” sekaligus sebagai sebuah testimoni atas sebuah kegigihan perjuangan massa rakyat yang terorganisir yang mampu mengalahkan, baik secara politik maupun militer, kekuasaan imperialisme yang kuat.
Pada saat Mao melancarkan Gerakan Loncatan Jauh Ke Depan pada tahun 1958, terjadi perubahan politik luar negeri secara signifikan yang ditandai dengan pemutusan hubungan dan penarikan bantuan dan ahli-ahli Uni Soviet, sejak mana China mulai menganut strategi pembangunan berdikari (self-reliance) yaitu “mempertahankan independensi, memegang prakarsa di tangan sendiri dan mengandalkan pada kemampuan usaha sendiri”, dan di lain pihak “meminimumkan gagasan-gagasan , pengaruh-pengaruh, dan aspirasi-aspirasi asing”[1]. Sejak itu semboyan Mao mulai popular di kalangan rakyat, yakni “Pertama miskin, dan kedua kosong” (i-ch‘ung-erh-pai). Semboyan tersebut ingin memberitahukan dan menyadarkan bahwa China adalah suatu negara yang secara ekonomi masih terbelakang tapi sebagaimana kertas yang putih-kosong, ia lebih leluasa untuk diisi dengan gambar-atau tulisan yang baru[2].
Pada periode ini, batu-bata kemandirian pertama diletakkan untuk menyusun model pembangunannya sendiri yang baru. Mao tidak ingin meniru mentah-mentah pola pembangunan negara sosialis yang telah maju—sebagaimana yang telah dicapai oleh Uni Soviet—dengan ciri mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui industrialisasi dengan titik-berat pembangunan industri berat-dasar-besar, serta pro teknologi tinggi, sistem pemerintahan teknokrasi dan profesionalisme dalam birokrasi dan militer. Oleh karena itu Mao menginginkan model pembangunan yang cocok dengan taraf perkembangan yang ada, yakni yang memprioritaskan pertanian dan industrialisasi yang berorientasi dan menunjang pertanian. Mao melihat bahwa kondisi masyarakat China sangatlah berbeda dengan kondisi di Uni Sovyet, sehingga mengadopsi kurang tepat disamping ada motif nasionalisme dari Mao untuk tidak mengadopsi pola pembangunan a la Uni Soviet.
Dalam khasanah teori ekonomi pembangunan, model pembangunan China pun menempati posisi khusus karena ia memiliki model pembangunan yang berbeda dengan umumnya teori pembangunan yang hanya mengenal “model Jepang” dan “model NICs”. Model Jepang diakui karena kesuksesan Jepang untuk keluar dari kekalahan PD II dengan sukses. Adapun model pembangunan dari negara-negara yang tergabung dalam New Industrialised Coutries (Korsel, Taiwan, Hong Kong, Singapura) juga berhasil memasuki kelompok “negara kaya baru” dalam tempo yang pendek. Sampai saat ini belum ada ekonom yang mampu menjelaskan secara profetik mengenai apa itu “model China” karena ia adalah model yang tidak punya cetak biru yang pasti. Deng berkali-kali mengatakan bahwa pembangunan yang sedang dijalankannya maupun oleh pengganti-penggantinya adalah ibarat mo zhe shitou, guo he (menyeberangi sungai sambil meraba-raba batu dengan kakinya dan berusaha untuk tidak jatuh).
Akses Pendidikan Seluas-luasnya untuk Rakyat
Pada pertengahan tahun 1980-an, Qian Xuesen (sahabat dekat Deng Xiaoping sekaligus Ketua Komite Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) mengusulkan agar pada tahun 2000 semua pegawai pemerintahan adalah lulusan universitas, pemimpin tingkat kabupaten adalah bergelar master, dan semua menteri maupun wakil menteri harus bergelar doktor. Meskipun usulan Qian tersebut dinilai berlebihan dan sulit diimplementasikan, namun menjelang Kongres Partai ke 12 (1982), ditetapkanlah kebijakan untuk seluruh partai yang disebut “si hua” atau “Empat Mengubah”, yakni mengubah menjadi remaja (niangqinghua), mengubah menjadi bersemangat revolusioner (geminghua), mengubah menjadi profesional (zhuan-yehua), dan mengubah menjadi berpendidikan (zhisihua)[3].
Akses pendidikan juga dibuka seluas-luasnya kepada rakyat jauh-jauh hari sebelum partai memperkenalkan konsep “Empat Mengubah” di atas. Adalah pengalaman kekalahan China dalam menghadapi Inggris pada 1840 yang terkenal dengan “Perang Candu” dimana tentara China ditaklukkan, bahkan dimusnahkan, oleh tentara Inggris yang memiliki persenjataan yang jauh lebih canggih. China mengalami kekalahan berturut-turut dari negara-negara Barat, bahkan oleh Jepang semata-mata karena kalah teknologi. Pengalamam pahit inilah yang mendorong perombakan besar-besaran terhadap sistem pendidikan di China. Pada tahun 1905, ujian secara kuno (yang berasal dari tahun 500 M) untuk menjadi pegawai negeri dinyatakan bubar dan digantikan dengan pendidikan modern menurut model Barat. Pada saat itulah dimulainya gerakan untuk mempelajari sains dan teknologi Barat. Bahkan salah satu filsuf terkemuka saat itu, Hu Shi, mengatakan kalau ingin menyelamatkan China, maka China harus memeluk sains[4].
Perhatian terhadap pentingnya pendidikan makin menguat saat PKC berkuasa. Dengan berpedoman untuk selalu melandaskan segala tindakan dan kebijakan pada yang ilmiah, maka pendirian universitas-universitas modern gencar dilakukan. Perkembangan sains dan teknologi mendapat perhatian yang cukup besar terbukti dengan dikirimkannya 11.000 mahasiswa ke Uni Soviet pada periode 1949-1960. Pada tahun 2008 jumlah tersebut mengalami peningkatan dimana 700.000 mahasiswa China yang menuntut ilmu di 103 negara. Pada saat bersamaan, di terdapat sekitar 200.000 mahasiswa asing dari 188 negara yang menuntut ilmu di universitas-universitas di China.
Menyerap Semangat Zaman
Bangsa China dikenal sebagai bangsa yang ulet dan teguh dalam belajar. Untuk mencapai kemajuan yang diingikan, mereka tak setengah-setengah dalam mempelajari best practices dari negara-negara lain. Pada saat bersamaan, negeri ini juga berani melakukan percobaan-percobaan sosial. Kita bisa menyebut beberapa “proyek sosial” seperti gerakan Lompatan jauh Ke Depan pada era Mao, juga gerakan gaige (reformasi) dan kaifang (keterbukaan) pada era Deng Xiaoping. Gerakan Lompatan Jauh Ke Depan telah banyak dibahas pada bab di atas. Adapun pada gerakan gaige & kaifang, rakyat China memasuki sebuah wahana baru bernama ekonomi pasar dimana rakyat diberi kesempatan untuk xiahai yang secara harfiah berarti “terjun ke lautan” yang sebenarnya tak jauh dari pengertian “melakukan kegiatan dalam perekonomian pasar bebas. Berbeda dengan era Mao, kesadaran politik rakyat menjadi tujuan utama dalam proyek-proyek sosialnya. Hanya dengan kesadaran politik yang benar maka segala tugas bisa dijalankan dengan benar. Oleh karena itu China pada era Mao banyak dijumpai hiruk-pikuk kampanye-kampanye politik seperti Gerakan 100 Bunga dan Gerakan Anti Kanan (1956), Lompatan Jauh Ke Depan (1957-1960), hingga ke Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (1966-1969). Semua gerakan itu diperlukan untuk menghindarkan China dan PKC dari kebangkitan kembali kaum borjuasi dan kapitalisme di China. Ini semua berangkat dari pemikiran Mao pada akhir 1950-an yang mengatakan bahwa “bahkan dalam tahap sosialis pun, masih akan ada kontradiksi, yakni antara keyakinan revolusioner yang murni melawan kecenderungan-kecenderungan birokratis, elitisme, revisionisme, dan restorasi kapitalisme”[5].
Sejak kemenangan revolusi sosialis 1949, proyek pembangunan bangsa melibatkan unsur-unsur ideologi komunisme yang berbasis pada Marxisme–Leninisme. Mao membuat analisis brilian Marxis-Leninis tentang hubungan antara “knowing”(teori) dan “doing” (praktis) yang telah menjadi subjek kontroversi dalam filsafat Cina sejak era Konfisianisme hingga Sun Yat-sen (Wai Lu, 1959:140). Pada era Mao (1949-1976), China menerapkan sistem ekonomi tertutup dengan peraturan yang sangat ketat. Mao percaya bahwa pembangunan di Cina akan berhasil melalui strategi zili geng sheng (berdiri di atas kaki sendiri). Kemudian, setelah Mao wafat, tampilah Deng Xiaoping yang membawa gagasan “sistem ekonomi sosialis pasar”. Deng cenderung menjalankan strategi Yangwei Zhongyong (mengandalkan kemampuan luar negeri untuk kepentingan dalam negeri Cina). Dalam hal ini, Deng melihat hubungan baik dan kerjasama ekonomi dengan AS dan negara-negara Barat sebagai landasan untuk mewujudkan cita-cita “Cina yang modern dan kuat”. Tujuan tersebut diimplementasikan melalui platform Sige Xiandaihua (empat modernisasi) dan Kaifang zhengzi (politik pintu terbuka). Para pemimpin China selalu mengaitkan antara pilihan ideologi dengan karakter kerja keras yang dimiliki bangsa China. Terlepas dari pilihan ideologinya, seluruh potensi alam maupun rakyatnya selalu mampu menghasilkan energi pembangunan yang besar.
Penutup
China, dalam sejarahnya pernah menjadi bangsa terjajah. Perasaan terhina sebagai bangsa terjajah tersebut kemudian menghasilkan sebuah memori kolektif yang kuat dan merata di kalangan rakyat China, yang kemudian menjadi bahan bakar bagi nasionalisme dan kemajuan pembangunan China. Angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, produk-produk ekspor yang membanjiri dunia, atlit-atlit yang selalu merajai berbagai kompetisi olahraga, juga kemajuan di bidang seni, sains dan teknologi yang diraih bangsa China tidak diperoleh secara gratis. Memori kolektif dari bangsa China, baik sebagai bekas negara jajahan maupun memori terhadap kejayaan masa lampu, telah mampu mengikat pemimpin dan rakyat China untuk membentuk kebudayaan yang produktif. Apapun ideologinya, baik saat memeluk komunisme maupun kini dengan sosialisme pasar-nya, China mampu menangkap semangat zaman untuk membuat China menjadi bangsa yang hebat lagi di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
– Eckstein, Alexander, “China’s Economic Revolution”, Cambridge. Cambridge University Press, 1972.
– Mao Tse-tung, Mao Tse Tung: Four Essays on China and World Communism, Lancer Books, N.Y, 1972.
– W.M. Theodore de Bary et al. (eds.) Sources of Chinese Tradition, Vol 2 (New York: Columbia University Press, 1960.
– Wibowo, I., “Belajar Dari Cina”, Kompas, 2007.
[1] Alexander Eckstein, “China’s Economic Revolution”, Cambridge. Cambridge University Press, 1972, hal 284.
[2] Kelak pada era Deng, semboyan tersebut tidak lagi populer dan diganti dengan zhi fu shi guangrong (menjadi kaya itu mulia).
[3] Lihat I. Wibowo “ketika Kaum Teknokrat Mengendalikan Cina”, dalam “Belajar Dari Cina”, Kompas, 2007, hal.139.
[4] Hu shih, “Pragmatism”, dalam W.M. Theodore de Bary et al. (eds.) Sources of Chinese Tradition, Vol 2 (New York: Columbia University Press, 1960), hal. 169 – 17. Tentang perdebatan tentang pentingnya sains, lih. Ibid., hal. 172-181.
[5] Mao Tse-tung, “On the Correct Handling of Contradiction Among People, dalam Mao Tse Tung: Four Essays on China and World Communism, Lancer Books, N.Y, 1972.
Leave a comment